Kamis, 24 Mei 2012

Masyarakat Desak Pemerintah Tutup TPL Porsea.

Dolok Sanggul,SENTANAONLINE.com-- Perusahaan industri bubur kertas PT. Toba Pulp Lestari (TPL), yang didirikan pada saat orde baru berkuasa, hingga saat masih  terus memunculkan persoalan pada warga yang bermukim dan berusaha di daerah sekeling Danau Toba.
KONFLIK  horizontal terus menghantui warga, khususnya pada saat Soeharto berkuasa, bukan merupakan rahasia umum lagi, kalau warga masyarakat yang tidak setuju dengan pengoperasian TPL sering diintimidasi bahkan mendapat perlakuan represif dari aparat.
Seiring dengan bergulirnya reformasi, sebahagian warga yang semakin menyadari perampasan atas hak-hak mereka, mulai berani bersuara walaupun terkesan masih ragu-ragu, namun masyarakat mulai melakukan perlawanan kembali menyikapi keberadaan TPL ini yang dituding lebih banyak merugikan warga.
Hal ini terlihat dalam rapat antara Panitia Khusus (Pansus) SK 44/Menhut II, dan Pengukuran Trayek Tapal Batas Atas Areal Kerja IUPHHK HT PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan Eksistensi PT TPL di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) DPRD Humbahas dengan warga masyarakat kecamatan Pollung-Humbahas yang dilangsungkan di Aula Kantor Camat Pollung di Desa Huta Paung, Jl Doloksanggul-Sidikalang, Senin (26/09/2011), menindak lanjuti pembicaraan Aliansi Masyarakat Adat Humbahas pada saat  aksi damai di kantor DPRD Humbahas Rabu, (21/9) lalu.
Warga Pollung dan Pansus membicarakan tentang keberadaan TPL di wilayah kec Pollung dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.44/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Sumatera Utara seluas 3,7juta Ha lebih.
Dari rapat tersebut diambil keputusan bahwa masyarakat kec Pollung dengan tegas menolak keberadaan TPL di tanah adat yang ada di wilayah mereka dan meminta Pemerintah dan DPRD melalui Pansus melalui Pansus agar segera menghentikan segala kegiatan TPL di tanah adat milik masyarakat Pollung serta menolak SK Menhut 44/2005 yang menempatkan posisi kecamatan Pollung sebagai  kawasan hutan milik Negara.
"Penolakan keberadaan TPL di wilayah Pollung adalah tuntutan kami,  karena TPL telah menimbulkan kerusakan kebun kemenyan milik kami," pinta James Sinambela yang merupakan  ketua kelompok tani kemenyan.
James menambahkan “TPL sangat menyengsarakan rakyat, kami khawatir ini akan merusak mata pencaharian kami” jelasnya kepada Pansus.
"Jika TPL terus menyerobot tanah adat milik warga, anak cucu kami tidak akan memiliki lahan pertanian dan perkebunan lagi," pungkas James.
Sesaat setelah pertemuan berakhir, salah seorang warga Pollung, Rensus Nainggolan menegaskan kembali kepada wartawan agar TPL menghentikan segala kegiatannya di tanah adat yang ada di kec Pollung dan mengancam akan melakukan pemblokiran jalan bersama dengan warga masyarakat, “Kami akan memblokir jalan agar setiap kendaraan yang beroperasi mengangkut kayu dari lokasi TPL distop” ancam Rensus.
Tak berbeda dengan masyarakat Pollung, warga Balige juga mendesak agar SBY turun tangan langsung menghentikan TPL dan meminta presiden SBY untuk segera memenuhi janjinya untuk melaksanakan reformasi agraria, yang diharapkan dapat melindungi hak-hak ulayat masyarakat adat di daerah yang menjadi persoalan, seperti yang disampaikan Enriko Pagaraji, “Reformasi agraria ini mestinya menjadi kesempatan mengakomodasi hak-hak ulayat masyarakat adat ini. Pemerintah harus memberi kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengurus hak kepemilikan tanah mereka," jelas nya.
Lebih lanjut Enriko Pemerintah harus mengatur pembatasan konsesi terhadap pihak swasta yang ingin membuka lahan baru, sehingga tidak main caplok dan menyerobot kawasan tanah adat. "Pemerintah juga perlu mengatur peruntukan semua kawasan hutan, sehingga bisa melakukan monitoring dan evaluasi terhadap rencana ekspansi pihak swasta. Karena, pihak swasta pasti akan terus melakukan ekspansi jika diberi kesempatan," pungkas pemerhati lingkungan hidup ini.
Sebagai informasi, TPL adalah perusahaan yang didirikan pada tahun 1983 saat era orde baru diberikan ijin untuk memanfaatkan hutan-hutan alam di kawasan Tapanuli dan sekitar Danau Toba, Sumatera Utara dengan  nama PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang belakangan berubah jadi PT Toba Pulp Lestari.
Dengan senjata ijin konsesi tersebut, anak perusahaan grup Raja Garuda Mas milik konglomerat Sukanto Tanoto ini menebangi hutan-hutan di kawasan Tapanuli dan selanjutnya mengganti dengan tanaman eukaliptus.
Masyarakat-masyarakat adat Batak yang sudah turun temurun mengelola dan menjaga hutan tersebut protes, sehingga menimbulkan bentrok fisik, hukum, dan konflik sosial.
Dari sekitar 30.000-an hektar hutan kemenyan, konon kini hanya tersisa 7.400 hektar. Sisa itu pun terus mendapat tekanan, karena dikelilingi hutan tanaman industri TPL.
Konflik itu terus berlangsung selama 27 tahun dan konflik terakhir adalah protes masyarakat atas penebangan hutan kemenyan di Humbahas. Kemenyan adalah komoditi unggulan lokal kawasan Humbang yang sangat langka, bukan hanya untuk ukuran Indonesia, bahkan dunia, karena hanya ada hutan di wilayah ini. Sudah ratusan tahun hutan kemenyan tersebut secara turun temurun menjadi sumber ekonomi penduduk setempat.
Hingga saat ini, memang belum satu pun peraturan perundangan di Indonesia yang mengakui kepemilikan tanah masyarakat adat. Baik UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun SK Menhut No. 44/2005 menyatakan tanah milik Negara. Artinya, hak kepemilikan tanah berada di tangan pemerintah. Pemerintah hanya mengakui hak kelola terhadap suatu tanah adat oleh masyarakat setempat, namun kepemilikan tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar