Dolok Sanggul,SENTANAONLINE.com-- Perusahaan industri bubur
kertas PT. Toba Pulp Lestari (TPL), yang didirikan pada saat orde baru
berkuasa, hingga saat masih terus memunculkan persoalan pada warga yang
bermukim dan berusaha di daerah sekeling Danau Toba.
KONFLIK horizontal terus menghantui warga, khususnya pada saat
Soeharto berkuasa, bukan merupakan rahasia umum lagi, kalau warga
masyarakat yang tidak setuju dengan pengoperasian TPL sering
diintimidasi bahkan mendapat perlakuan represif dari aparat.
Seiring dengan bergulirnya reformasi, sebahagian warga yang semakin
menyadari perampasan atas hak-hak mereka, mulai berani bersuara walaupun
terkesan masih ragu-ragu, namun masyarakat mulai melakukan perlawanan
kembali menyikapi keberadaan TPL ini yang dituding lebih banyak
merugikan warga.
Hal ini terlihat dalam rapat antara Panitia Khusus (Pansus) SK
44/Menhut II, dan Pengukuran Trayek Tapal Batas Atas Areal Kerja IUPHHK
HT PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan Eksistensi PT TPL di Kabupaten Humbang
Hasundutan (Humbahas) DPRD Humbahas dengan warga masyarakat kecamatan
Pollung-Humbahas yang dilangsungkan di Aula Kantor Camat Pollung di Desa
Huta Paung, Jl Doloksanggul-Sidikalang, Senin (26/09/2011), menindak
lanjuti pembicaraan Aliansi Masyarakat Adat Humbahas pada saat aksi
damai di kantor DPRD Humbahas Rabu, (21/9) lalu.
Warga Pollung dan Pansus membicarakan tentang keberadaan TPL di wilayah
kec Pollung dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.44/2005 tentang
Penunjukan Kawasan Hutan di Sumatera Utara seluas 3,7juta Ha lebih.
Dari rapat tersebut diambil keputusan bahwa masyarakat kec Pollung
dengan tegas menolak keberadaan TPL di tanah adat yang ada di wilayah
mereka dan meminta Pemerintah dan DPRD melalui Pansus melalui Pansus
agar segera menghentikan segala kegiatan TPL di tanah adat milik
masyarakat Pollung serta menolak SK Menhut 44/2005 yang menempatkan
posisi kecamatan Pollung sebagai kawasan hutan milik Negara.
"Penolakan keberadaan TPL di wilayah Pollung adalah tuntutan kami,
karena TPL telah menimbulkan kerusakan kebun kemenyan milik kami," pinta
James Sinambela yang merupakan ketua kelompok tani kemenyan.
James menambahkan “TPL sangat menyengsarakan rakyat, kami khawatir ini
akan merusak mata pencaharian kami” jelasnya kepada Pansus.
"Jika TPL terus menyerobot tanah adat milik warga, anak cucu kami tidak
akan memiliki lahan pertanian dan perkebunan lagi," pungkas James.
Sesaat setelah pertemuan berakhir, salah seorang warga Pollung, Rensus
Nainggolan menegaskan kembali kepada wartawan agar TPL menghentikan
segala kegiatannya di tanah adat yang ada di kec Pollung dan mengancam
akan melakukan pemblokiran jalan bersama dengan warga masyarakat, “Kami
akan memblokir jalan agar setiap kendaraan yang beroperasi mengangkut
kayu dari lokasi TPL distop” ancam Rensus.
Tak berbeda dengan masyarakat Pollung, warga Balige juga mendesak agar
SBY turun tangan langsung menghentikan TPL dan meminta presiden SBY
untuk segera memenuhi janjinya untuk melaksanakan reformasi agraria,
yang diharapkan dapat melindungi hak-hak ulayat masyarakat adat di
daerah yang menjadi persoalan, seperti yang disampaikan Enriko Pagaraji,
“Reformasi agraria ini mestinya menjadi kesempatan mengakomodasi
hak-hak ulayat masyarakat adat ini. Pemerintah harus memberi kesempatan
kepada masyarakat adat untuk mengurus hak kepemilikan tanah mereka,"
jelas nya.
Lebih lanjut Enriko Pemerintah harus mengatur pembatasan konsesi
terhadap pihak swasta yang ingin membuka lahan baru, sehingga tidak main
caplok dan menyerobot kawasan tanah adat. "Pemerintah juga perlu
mengatur peruntukan semua kawasan hutan, sehingga bisa melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap rencana ekspansi pihak swasta. Karena,
pihak swasta pasti akan terus melakukan ekspansi jika diberi
kesempatan," pungkas pemerhati lingkungan hidup ini.
Sebagai informasi, TPL adalah perusahaan yang didirikan pada tahun 1983
saat era orde baru diberikan ijin untuk memanfaatkan hutan-hutan alam
di kawasan Tapanuli dan sekitar Danau Toba, Sumatera Utara dengan nama
PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang belakangan berubah jadi PT Toba Pulp
Lestari.
Dengan senjata ijin konsesi tersebut, anak perusahaan grup Raja Garuda
Mas milik konglomerat Sukanto Tanoto ini menebangi hutan-hutan di
kawasan Tapanuli dan selanjutnya mengganti dengan tanaman eukaliptus.
Masyarakat-masyarakat adat Batak yang sudah turun temurun mengelola dan
menjaga hutan tersebut protes, sehingga menimbulkan bentrok fisik,
hukum, dan konflik sosial.
Dari sekitar 30.000-an hektar hutan kemenyan, konon kini hanya tersisa
7.400 hektar. Sisa itu pun terus mendapat tekanan, karena dikelilingi
hutan tanaman industri TPL.
Konflik itu terus berlangsung selama 27 tahun dan konflik terakhir
adalah protes masyarakat atas penebangan hutan kemenyan di Humbahas.
Kemenyan adalah komoditi unggulan lokal kawasan Humbang yang sangat
langka, bukan hanya untuk ukuran Indonesia, bahkan dunia, karena hanya
ada hutan di wilayah ini. Sudah ratusan tahun hutan kemenyan tersebut
secara turun temurun menjadi sumber ekonomi penduduk setempat.
Hingga saat ini, memang belum satu pun peraturan perundangan di
Indonesia yang mengakui kepemilikan tanah masyarakat adat. Baik UU No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun SK Menhut No. 44/2005 menyatakan
tanah milik Negara. Artinya, hak kepemilikan tanah berada di tangan
pemerintah. Pemerintah hanya mengakui hak kelola terhadap suatu tanah
adat oleh masyarakat setempat, namun kepemilikan tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar